Maya Dewi Kurnia
(catatan perjalanan sejarah, ditulis sekitar tahun 2009)
Ini cerita tentang sebuah
perkampungan yang ada di tengah kota Medan. Perkampungan yang didiami lebih
dari 100 jiwa orang India berkulit gelap. Masyarakatnya menyebutnya dengan
kampung Keling atau kampung Madras atau dalam bahasa Ingrisnya little India. Etnis India ini tiba di
Medan sekitar abad 19. Mereka dibawa dari sebuah daerah bernama Madras di India
oleh pemerintahan Belanda untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Sumatera
sebagai buruh kasar.
Hari masih belum terlalu sore.
Jarum jam baru menunjukkan angka 3. Di sebuah warung nasi sederhana depan salah
satu toko bakery di Jalan Tarumanegara Medan, pria berkulit hitam beretnis
India itu melepaskan penatnya. Syamsuddin (70), sapaan akrabnya duduk di bangku
kayu dengan mata yang tetap mengarah ke arah seberang, tempat ia menggelar
dagangan majalah dan koran. Sementara di depannya, ada Sami (49), keturunan
etnis Tamil yang juga tengah duduk.
Saban siang ketika tidak ada rutinitas yang padat, keduanya bersantai di warung
sambil menikmati secangkir teh atau kopi, melihat orang yang berlalu lalang.
Tak jarang cuma mengobrol dengan menggunakan bahasa yang terdengar tidak lazim.
" Ini bahasa India Tamil," jelas Sami kepada MedanBisnis yang duduk
diantaranya.
Bahasa Tamil belakangan jarang
dituturkan. Tentu bukan tanpa sebab, salah satunya karena tidak banyak
keturunan India Tamil yang bisa menggunakannnya. " Hanya generasi tua.
Kalau anak mudanya sama sekali tidak mengerti bahasa Tamil. Mereka tidak
tertarik mempelajarinya," ucap Sami. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai
marketting di perusahaan swasta ini
mengaku acapkali mengajari anaknya berbahasa Tamil di rumah. Bahkan
sempat dileskan. Sayang ketertarikan
mereka hanya sementara. Cukup sekali saja belajar sisanya malas dan memutuskan
berhenti. Mungkin karena bahasa Tamil
bukan bahasa Internasional tidak seperti bahasa Inggris. Prihatin memang dengan
kondisi demikian terlebih bahasa Tamil bagian dari peninggalan leluhur tapi
Sami dan Syamsuddin tidak bisa berbuat. Mereka cuma mampu mengelus dada
memakluminya.
Tak lama berselang, dua orang
gadis berhidung mancung berkulit hitam melintas. Sepertinya mereka juga
keturunan India. Mereka berjalan masuk
menuju sebuah lorong yang masih berada di Kampung Madras. Menit berikutnya ada
lagi pria bertubuh tegap, berkulit pekat mengendarai sepeda motor masuk ke
dalam itu juga.
Menurut Syamsuddin ada banyak
keturunan etnis india tamil yang khas dengan kulit hitamnya tinggal disini.
Sebagian mereka Ada beragama Hindu. Sebagian lagi menganut islam. Sebagai bukti peninggalan
orang India Tamil beragama Hindu terdapatnya kuil yang telah berdiri ratusan
tahun yakni Kuil Shri Marriaman dan Kuil Chettiar. Ada pula mesjid Ghaudiyah, peninggalan
masyarakat India muslim.
Orang keturunan India di kampung
ini menetap entah sudah beberapa generasi dari nenek, ibu, anak, cucu hingga
cicit. Syamsuddin mengisahkan konon orang India datang ke Medan menjadi buruh
perkebunan dan kuli yang membangun jalan. Sejak berada di Medan mereka pun
menempati tanah kosong di kampung ini. Sebagian tanah yang didiami warga milik
Chong A Fie. Batasannya dari Jalan Erlangga sampai dengan Kebon Bunga. Sebagian
milik orang kaya India, Delib Sing. Batasannya dari Jalan Tarumanegara sampai
dengan Pagaruyung. Soal disewa atau diberikan kepada warga ia tidak
mengetahuinya.
Versi lainnya disebutkan
Ramli(76) sesepuh kampung, tanah yang ditempati warga kampung keling milik
kesultanan Deli. Ia tidak tahu persis tanah itu diberikan kesultanan dan
disewakan kepada warga. Yang diketahuinya dengan jelas, kampung madras dari
tahun ke tahun makin riuh. Dulu anak-anak dengan leluasa bermain dan berlari.
Sekarang untuk menanam satu bunga pun sudah tidak ada tempat.
Sebenarnya dari dulu kampung
madras menurut Ko Han (60), warga yang menghuni Kampung Madras dari tahun 1963
tidak pernah sepi cuma memang tidak sepadat saat ini. Sejumlah toko-toko yang
menjual barang-barang impor berdiri. Boleh jadi hanya orang-orang berduit yang
bisa berbelanja. Masa itu Kampung Madras dikenal sebagai pusat toko-toko mewah.
Seiring waktu, pusat perbelanjaan tumbuh bak cendawan di musim penghujan.
Toko-toko mewah akhirnya kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan raksasa.
Warga keturunan India yang dulunya bekerja sebagai pegawai toko kehilangan
pekerjaan. Untuk bertahan hidup mereka beralih profesi. Ada yang menjadi tukang
parkir. Ada pula yang menjadi pedagang makanan.
Mie rebus, roti canai dan
martabak telur beberapa kreasi masakan yang dibuat orang keturunan india. Tak
disangka dalam perjalanannya diterima masyarakat lokal. Ketiganya pun hingga
kini menjadi ikon kuliner Medan. Salah satu tempat yang menyediakan pusat
makanan khas India di kampung madras yakni Jalan pagaruyung. Sebagian lagi menyebar di Jalan Cik Ditiro dan
jalan Zainul Arifin hingga jembatan kebajikan yang menjadi batas terakhir Kampung Madras.
Syamsuddin menjelaskan kampung itu dahulu memang tidak serupa dengan sekarang. Yang mendiaminya makin beragam
tidak hanya keturunan India. Tentang
kebiasaan dan kebudayaan, sebagian masih tersisa tapi sebagian lagi
hilang di telan zaman. Salah satu yang telah terkikis tonel yakni seni drama yang dilengkapi tarian dan
nyanyian India. Di tahun 80an, tonel sempat popular di kalangan masyarakat
keturunan India. Tapi lebih dari satu dasarwarsa tonel sudah tidak
diperlihatkan lagi. Tak ada lagi generasi yang meneruskannya. Sama juga dengan
kegiatan keagamaan keturunan India Tamil, Thai Pusam yang diikuti dengan
mengarak kereta kencana. Terakhir kata dia, kereta kencana diarak tahun 1972.
Sesudahnya tidak pernah lagi.
Sami, Syamsuddin, dan Ko Han,
beberapa keturunan India yang ada di Medan. Mereka mengaku beberapa saudara
masih tinggal di india. Waktu nenek dan kedua orang tuanya masih hidup,
sesekali ada keluarga dari negeri asal aktor Shah Rukh Khan datang berkunjung.
Tapi sekarang sudah tidak. Boleh dibilang mereka telah putus hubungan dengan
keluarga di India. Tidak tahu lagi siapa dan dimana mereka. Lama telah menjadi
bagian dari negara Indonesia membuat ketiganya tidak merindukan tanah leluhur.
" " Justru saya akan lebih rindu kalau tidak tinggal di
Indonesia," tegas Sami.
* * *
Keanekaragaman Yang Menyatu
Terselip diantara rumah toko atau
dikenal ruko yang memadati sebagian besar kawasan di Madras ada pemukiman padat
penduduk yang hadir. Orang mengenalnya dengan kampung kubur. Kalau dari jalan
besar Zainul Arifin pemukiman tersebut sama sekali tidak terlihat. Kalau pun
ingin mengamatinya dengan jelas bisa dari gedung menjulang yang berada di
seberang sungai Babura. Untuk memasuki
kampung yang namanya agak serem ini bisa melalui sebuah gang bernama batik
keris.
Gang ini terbilang sempit. Barangkali cuma sepeda motor yang bisa
masuk ke dalamnya. Tepat disisi kanan gang ada tembok yang panjangnya kira-kira
5 meter. Di balik tembok ada area pekuburan milik India muslim. Dari sinilah asal
muasal nama kampung kubur. Sementara disisi kiri gang terdapat rumah-rumah
penduduk yang saling berhimpitan. Ukurannya tidak besar dengan perabotan yang
sederhana. Dari pintu dan jendela yang ternganga tampak cuma televisi. Di luar
segerombolan anak bermain.
Pelan berjalan ditemui lagi rumah-rumah penduduk. Satu dengan yang
lainnya berhadapan dan berdekatan tanpa sekat. Ukurannya pun tidak besar tapi
permanen dan bertingkat. Warga membuatnya dari beton agar bangun tetap kokoh.
Soalnya mereka trauma dengan kebakaran yang pernah melanda kampung tahun 2001
dan menghancurkan tempat tinggal mereka yang berbahan kayu dan triplek. Tak
cuma itu, mereka juga membangun rumahnya bertingkat. Salah satu tujuannya untuk
mengakali ruangan. Maklumlah lahan yang dimiliki sempit. Umumnya lantai dua rumah digunakna untuk
kamar dan jemuran. Tidak heran bila menengadah diantara lorong gang tersebut
yang pertama kali terlihat kemeja, celana bergantungan. Saking padatnya seakan
tak ada tempat untuk si raja siang bersinar dengan leluasa. Ia hanya bisa
tersembunyi malu-malu diantara rumah bertingkat dan berhimpitan.
Seperti biasa, saat sore tiba kaum ibu sebagian besar duduk bersantai
di teras rumahnya masing-masing. Sesekali terdengar derai tawa yang mewarnai
pembicaraan mereka. Tak mau kalah, kaula mudanya pun berkumpul di tiap sudut
lorong. Bermain kartu, berjudi atau sekadar merokok menjadi pemandangan yang
lumrah. Giliran anak-anak terpelongoh menonton tayangan film kartun yang ada di
televisi. Sebagian lagi berkejaran masuk
lorong yang satu ke lorong berikutnya. Ya, Kampung Kubur memiliki banyak
lorong. Ibarat labirin, begitulah kondisi di dalamnya. Barangkali mereka yang
baru pertama masuk kampung akan kesulitan menemukan jalan keluar.
Walau demikian keakraban antar warga jelas tergambar disini padahal
suku dan latar belakang budayanya berbeda. Santi misalnya bersuku betawi, Sami
keturunan India Tamil sedangkan Linda berdarah minang dan aceh.
Soal semangat tolong menolong tidak perlu diragukan. Santi (38), ibu
beranak dua ini menegaskan saat salah satu keluarganya meninggal maka warga lainnya tanpa diminta segera membantu. Sebaliknya ketika
salah satu tetangga mengadakan hajatan pernikahan, seluruh warga di kampung ini segera
mengerahkan tenaganya. Sama ketika warga muslim merayakan Idul Fitri maka warga
beragama Hindu, Nasrani turut serta berpartisipasi.
Persisnya kapan hubungan harmonis antar warga yang berbeda etnis dan
agama ini terjalin, Santi mengaku tidak tahu. Barangkali sejak orang tua mereka
ada memilih tinggal di Kampung Kubur. Lantas sikap demikian terus diwariskan ke
generasi berikutnya.
Tidak cuma itu, perkawinan campur pun kerap terjadi antar sesama warga
kampung kubur. Istilahnya kawin antar tetangga. Ada orang Jawa menikah dengan
keturunan India, orang keturunan Cina menikah dengan Padang. Santi contohnya.
Ia menikah dengan orang keturunan India Pakistan dan telah dikarunia dua orang
anak. Ada pula Sami yang menikah dengan perempuan asal Nias. Meski begitu
menurut Santi dalam perkembangan kampung kubur, konflik karena perbedaan agama,
etnis tak pernah terjadi. Masing-masing orang saling menghargai perbedaan.
Hal itu dibenarkan Ko Han, warga yang tinggal jalan Zainul Arifin.
Sebagai bukti saat kerusuhan tahun 1998 berlangsung, warga keturunan Cina yang
tinggal di sekitar kampung keling tidak mengalami imbas. Masyarakat kampung
berjibaku menolong mereka supaya tidak menjadi korban kerusuhan. Padat memang
penduduk kampung kubur. Padahal menurut
Ramli atau dikenal Cing Li, Kampung Kubur mulanya hanya dihuni 15 KK.
Pertambahan penduduk kampung salah satunya dipicu karena banyak anak
kost-kostan.
Tumbuhnya pusat perbelanjaan di sekitar kampung ternyata membawa
dampak positif, masyarakat setempat memiliki uang tambahan dari bisnis
kost-kostan. Ada pula yang menjual nasi dan membuka warung. Ko Han,
salah satu warga yang meraup untung dari keadaan itu. Ia kebetulan tinggal di ruko.
Lantai satu disulap menjadi rumah makan sedangkan lantai dua untuk kost-kostan.
Di tengah perubahan kampung yang begitu pesat, ada satu kebiasaan
warga yang masih berjalan. Sampai sekarang mereka masih memanfaatkan Sungai Babura yang berada di belakang kampung tersebut untuk keperluan rumah tangga
diantaranya mencuci pakaian, dan mandi. Warna air sungai yang tidak jernih lagi
dan berganti kecoklatan tidak mempengaruhi warga. Padahal sampah-sampah
berserak di sepanjang sungai. Udin Tompel, satu dari warga kampung
mengaku masih memanfaatkan air sungai. Ia sama sekali tidak pernah mengeluh
gatal-gatal karena keruhnya air sungai.
* * *
Sisi Kelam Kampung Madras
Terlepas dari kepopuleran Kampung
Madras, ada cerita kelam yang pernah ada disini. Lokasinya di sepanjang sungai
babura yang kini menjadi pemukiman penduduk kampung kubur. Lembah, itu kata
orang-orang. Tahun 1960an lokalisasi sederhana ini terbentuk. Tidak tahu siapa yang
mendirikannya, tapi menurut Ko Han lokalisasi ini sangat terkenal. Berbagai
orang dari pelosok negeri di Medan mendatanginya. Bahkan gaungnya sampai ke
luar kota.
Terbius kepopuleran Lembah tak
jarang membuat gadis dari luar kota nimbrung. Alhasil menurut Ko Han mereka
bekerja di tempat lokalisasi tersebut. Ya, tempat inilah yang akhirnya menjadi
gantungan hidup mereka.
Hari berganti bulan terus
berganti tahun, Lembah dirasa makin berdenyut. Tak peduli siang sekalipun.
Musik berdentum keras. Kalau malam tiba temaram lampu pijar makin membuat
lembah semarak. Sudah mahfum, di area lokalisasi
dibangun kedai minuman keras. Adalah jalan Tarumanegara yang menjadi sarangnya.
Khusus kedai minuman kata Ko Han dikelola oleh warga kampung. Ternyata hasilnya
tidak buruk. Kata Ko Han hampir setiap hari kedai minuman dipenuhi pelanggan.
Salah satu pelanggan yang tidak mau ketinggalan untuk menikmati sensasi minuman
yang bisa bikin kehilangan kesadaran yakni orang India.
Minuman dalam kehidupan
masyarakat India merupakan satu kesatuan dan sulit dilepaskan. Seperti semut
dengan gula. Minuman dianggap wujud dari identitas dan simbol pergaulan. Kalau
sudah minum tidak mabuk tidak klop. "Makanya
tidak heran bila muncul istilah orang India kalau punya duit tidur parit, kalau
gak punya duit tidur di rumah ha-ha-ha," ujarnya sambil terbahak.
Tiba-tiba di sekitar tahun 1990an
lembah ludes. Lokalisasi yang tengah berada di puncak ketenaran ini hangus di
makan si jago merah. Seluruhnya habis. Tidak diketahui apakah lembah sengaja
dibakar atau memang terbakar. Sejak itu Lembah tidak lagi dibangun. Praktis mereka
yang hidup disini kehilangan mata pencaharian. Pelan-pelan Lembah pun diubah
menjadi pemukiman penduduk dan kini semakin sumpek.